Feeds RSS

Selasa, 22 Mei 2012

MANAJEMEN PARTAI POLITIK

Manajemen Par - Pol

       Bicara masalah Manajemen parpol sih, agak sulit kelihatannya tapi saya akan coba menuliskan yang mungkin bisa bermamfaat buat kita semua khususnya para pengurus dan kader partai politik di indonesia. 
       Bicara masalah Manajemen Partai Politik memang sangat-sangat susah tetapi sangat diperlukan bagi sebuah parpol baru akan berkembang, kenapa saya katakan sangat penting karena manajemen merupakan hal yang utama bagi tumbuh dan berkembangnya suatu parpol apalagi parpol baru karena , keberhasilan suatu parpol baru, pertama kali yang menjadi barometer adalah manajemennya..dan bukan jumlah dukungan masa, pengurus maupun financialnya.
           Baiklah saya akan ambil contoh di bidang HUMAS. Karena ini merupakan factor utama dalam melakukan sosialisasi terhadap public. Partai politik perlu menerapkan strategi efektif guna mengomunikasikan ide dan gagasannya pada publik. Konsep,komunikasi yang efektif dapat dijadikan pijakan. Lebih jauh lagi, peran dan fungsi humas sebagai bagian dari ‘strategic management’ dapat diandalkan untuk memberikan efek signifikan dalam pencapaian tujuan dari sebuah parpol.

LIBERALISASI itulah corak dunia kita sekarang secara nasional. Inti liberalisasi adalah persaingan (competition) dan sekaligus pentingnya wujud kerjasama (cooperation). Melalui kompetisi tersebut semua parpol dihadapkan pada pertarungan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk melakukan kerjasama (koalisi). Partai politik (parpol) yang tidak mampu berkompetisi juga yang tidak mampu membangun koalisi pasti akan collapse bahkan bisa tersingkir.
           Parpol harus mampu menyiasati perkembangan zaman itu. Menghadapi kompetisi atau melakukan koalisi adalah langkah membangun prestasi dan melahirkan reputasi sebagai wujud citra parpol. Untuk berprestasi, meraih reputasi, apalagi membangun citra parpol perlu mendapat dukungan publik atau masyarakat. Sebab masyarakat itulah sesungguhnya pasar yang selalu menguji, menilai, dan memberi penghargaan dalam proses liberalisasi. Parpol harus membangun human relation yang menjadi bagian dari proses peradaban yang berlangsung sangat dinamis.
      Sampai saat ini hampir semua parpol tidak memiliki humas, bahkan kalau ada merupakan fungsi komplementer dari bidang informasi dan komunikasi (infokom). Dalam hal ini, fungsi humas hanya secara teknis memublikasikan apa yang menjadi keputusan strategis bidang lain. Fungsi humas bukan fungsi strategis karena tidak dapat menggerakkan dan mengelola sumber-sumber komunikasi dengan publik. Sebaliknya humas merupakan fungsi manajemen yang hanya berperan mengomunikasikan pesan-pesan parpol kepada publiknya.
Dengan demikian parpol yang benar dan baik akan memandang penting makna humas dengan mengintegrasikan semua fungsi humas menjadi satu fungsi (terintegrasi) dan tidak terpecah serta tidak menjadi bagian dari bidang lain. Hanya dalam suatu sistem integrasi, humas memungkinkan untuk mengembangkan komunikasi dalam rangka mengelola strategi dan mempengaruhi opini publik baik internal maupun eksternal.
       Dengan posisi manajemen strategis, humas akan lebih leluasa memberikan kontribusi guna pencapaian tujuan parpol. Dengan demikian dia mampu mengembangkan program untuk mengomunikasikan pesan parpol kepada publik, baik internal maupun eksternal.
     Di samping itu, implikasinya humas mampu mewarnai terbentuknya budaya parpol, mengelola iklim komunikasi yang kondusif, serta menumbuhkan peran aktif semua stakeholder parpol.
Dalam kaitan ini, secara garis besar fungsi humas parpol antara lain:
partisipasi dalam manajemen, yaitu terlibat dalam proses pembuatan keputusan strategis,
  1. menyegmentasikan publik dan stakeholder utama,
  2. menggunakan
  3. komunikasi untuk mengelola hubungan dan interaksi dengan target publik,
  4. memengaruhi perilaku manajemen, dan
  5. mengukur kualitas hubungan dengan stakeholder parpol. Lebih jauh humas berkontribusi dalam terbentuknya efektivitas parpol guna memenuhi kebutuhan stakeholder-nya. Kontribusi ini memberikan nilai lebih khususnya untuk mengelola kegiatan secara strategis dan efektif melalui peningkatan hubungan dengan target publiknya.










 Membentuk Humas Parpol
          Manajemen parpol sekarang perlu direnovasi dan dilakukan pembaruan dengan membentuk bidang humas yang terlepas dari bidang infokom yang sudah ada. Fungsi dan peran humas yang dibentuk selain menerapkan manajemen strategis juga sebagai mediator antara pimpinan dengan anggota (internal) dan antara pimpinan dengan publik/masyarakat (eksternal) sehingga tercipta komunikasi yang harmonis. 
        Lebih dari itu humas parpol juga memiliki fungsi sebagai komunikator, fasilitator, dan corporate image building (pembangun citra parpol). Jadi dia menjalankan fungsi pimpinan parpol (role of the leader) tempat seorang pimpinan parpol mempunyai peran sebagai figur, sebagai komunikator, dan sebagai pembuat keputusan (interpersonal, informational, and decisional).
Seorang kader praktisi humas parpol yang piawai dalam berkomunikasi dengan media tulisan, elektronik, bahkan melalui multi media. Kader praktisi humas parpol diharapkan juga dapat melakukan pembinaan sumber daya manusia internal partai itu, di samping diperlukan kondisi yang kondusif yang mengarah kepada keterbukaan dan demokratisasi. 
         Hal ini akan dapat mendorong setiap pimpinan parpol untuk berpikir kritis dan kreatif. Setiap pimpinan parpol akan mengembangkan pola berpikir alternatif dengan pemahaman mendalam. Dengan ini diharapkan tumbuh pimpinan parpol yang kritis dan bersikap arif dalam menghadapi berbagai masalah, tidak hanya asal cepat saja.

Koalisi Bidang Humas Dengan Media Massa
        Bentuk nyata komunikasi parpol dapat dilakukan dengan berbagai media cetak secara lisan atau tertulis, juga media elektronik. Komunikasi tersebut diramu sedemikian rupa sehingga mampu memengaruhi publik pada umumnya. Ini untuk membangun reputasi parpol, penciptaan sense of belonging dan pembinaan corporate culture.
Dalam dinamika liberalisasi, suka atau tidak suka, media massa atau pers (cetak atau elektronik) sangat penting. Apalagi pada era globalisasi informasi sekarang. Pers ada di mana-mana, dengan para wartawan pada titik sentralnya. Pers juga perlu dimanfaatkan parpol, yang tentu saja dapat merugikan jika salah memanfaatkannya. Penulis Amerika Herbert NCasson menyatakan, media massa menjadi kebutuhan pokok dalam perikehidupan masyarakat modern, yang membimbing mereka dengan berbagai informasi dari pagi sampai petang bahkan sampai jauh malam selama 24 jam non-stop.
        Dalam zaman modern, media massa menjadi indikator penting dari kemajuan suatu negara dan bangsa. Media massa itu padat modal dan ditangani secara profesional dengan menggunakan teknologi canggih, terbukti telah melahirkan tiras media cetak dan tayangan jam siaran media elektronik yang spektakuler. Inilah yang menempatkan media massa menjadi institusi yang luar biasa kekuatannya di seluruh dunia, dan pengaruhnya sangat kuat, luas, dan tidak ternilai.
         Karena itu jika operasionalisasi media massa dilakukan oleh mereka yang tidak profesional, maka publik dan peradaban akan sangat dirugikan. Sebaliknya jika pers dikendalikan secara profesional, idealis, dan independen, niscaya akan memberi kontribusi besar dan bermakna bagi publik dan peradaban.
Itu pula sebabnya humas pada institusi/organisasi pada umumnya, dan humas parpol khususnya yang tidak mampu memanfaatkan potensi media massa pasti akan tertinggal oleh perubahan zaman, dan sangat mungkin akan mati lantaran tidak mampu membangun akses kerjasama dan tidak kuat bersaing.
Humas parpol yang mampu memanfaatkan potensi pers, yakinlah akan mampu bertahan, bahkan kian maju dan kuat.

Ingat, information is power.
        Humas parpol dan media massa sebenarnya dua fenomena dalam dunia informasi yang sangat sinergi dalam membangun kehidupan bangsa dan negara. Tanpa media massa, humas parpol akan sulit menyebarluaskan informasi penting, termasuk mengalami kesulitan untuk melakukan pendekatan dengan publiknya.
         Adalah realitas, betapa banyak parpol yang kedodoran oleh hantaman media massa yang menyuguhkan informasi tidak akurat, tidak bertanggung jawab, dan salah. Hal itu terutama akibat ketidakmampuan parpol tersebut memanfaatkan peluang yang tersedia pada media massa, utamanya karena parpol tidak memiliki humas.
Tentu saja landasan pekerjaan humas parpol yang baik haruslah dari lingkup parpol yang baik pula, sebab humas parpol sama dengan media massa sama-sama melayani hak publik untuk tahu (right to know), yang otomatis juga mengemban kebenaran informasi.
Parpol mana pun jika tidak memiliki humas yang baik akan terlayani secara buruk pula oleh pers, yang berimbas kepada buruknya perlindungan publik.


MANAJEMEN PARTAI POLITIK Keuangan, Sisi Gelap Partai Politik


          Ketentuan keuangan partai politik diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Dalam UU itu diatur sumber keuangan parpol dan besaran sumbangan. Dana kampanye juga diatur dalam UU No 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
      Akan tetapi, ketentuan perundang-undangan itu tidak mudah dilaksanakan, apalagi diawasi pelaksanaannya. Oleh karena itu, ketentuan itu sebenarnya kurang efektif.
         Misalnya, dalam UU No 2/2008, besaran perseorangan bukan anggota parpol ditentukan paling banyak Rp 1 miliar per orang dalam waktu satu tahun anggaran. Sumbangan dari perusahan atau badan usaha paling banyak Rp 4 miliar per perusahaan dalam satu tahun anggaran. Bagaimana mengawasi ketentuan bahwa sumbangan perseorangan bukan anggota parpol paling banyak Rp 1 miliar? Atau, bagaimana pula pengawasan terhadap sumbangan yang berasal dari perseorangan anggota parpol sendiri?
        Penyumbang atau orang bukan anggota parpol yang menyumbang ke parpol, apalagi dalam jumlah besar, biasanya tidak mau disebut namanya. Selain itu, sumbangan dalam jumlah besar tidak selalu dicatat di dalam rekening kas umum parpol.
       Oleh karena itu, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki menilai, rekening keuangan atau kas parpol hanya sekadar menjadi ”pajangan”. Artinya, keuangan atau kas parpol, termasuk rekening dana kampanye parpol, hanya instrumen memenuhi persyaratan administratif UU.
        Arus keluar masuk uang dalam organisasi parpol dari berbagai sumber, kata Teten, jauh lebih besar daripada perhitungan yang bisa tercatat dalam kas atau keuangan parpol. ”Saat kampanye, misalnya, yang ada justru kasir-kasir politik yang menerima atau mengeluarkan uang, bukan saja bendahara parpol,” katanya.
Pengajar Politik Universitas Gadjah Mada, Kuskridho Ambardi, mengungkapkan, laporan keuangan parpol, seperti laporan dana kampanye, dibuat sesuai ketentuan yang diminta.
        Akan tetapi, kata Kuskridho, saat ditanya kepada bendahara parpol, jumlah dana kampanye bisa mencapai tiga kali lipat daripada yang dilaporkan. Oleh karena itu, peraturan pembatasan sumber keuangan parpol yang dinilai baik selama ini menjadi tidak realistis. ”Respons partai terhadap peraturan itu melakukan patgulipat, dan semua seperti itu, mulai dari partai besar hingga partai kecil, dan kemudian justru digelapkan,” katanya.
        Dengan kondisi itu, banyak pimpinan atau bendahara parpol sulit menjelaskan asal usul ”mesin” uang keuangan atau kas parpol secara transparan dan seberapa besar sumbangan yang diterima atau rata-rata uang yang terkumpul pada kas parpol dalam setahun.

Jumlah tidak jelas
         Pimpinan atau pengurus parpol hanya mengungkapkan sumber dana parpol sesuai ketentuan yang diatur dalam UU No 2/2008. Para pimpinan partai atau bendahara sembilan partai politik yang diwawancarai Kompas hampir tidak ada yang dapat menjelaskan secara rinci kondisi keuangannya.
     Wakil Bendahara DPP Partai Demokrat Marlena Ahmad, misalnya, mengatakan, penerimaan dana terbesar berasal dari iuran anggota. Kedua, dari sumbangan, dan yang terakhir adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
       Terkait seberapa besar dana yang diperoleh, Marlena hanya menggambarkan bahwa dana operasional partai—pengeluaran rutin—sebesar Rp 8 miliar sampai Rp 10 miliar.
      Partai yang agak rinci mengatur iurannya adalah Partai Keadilan Sejahtera. Seperti dijelaskan Sekjen PKS Anis Matta dan Wakil Bendahara PKS Edy Kuncoro, partai ini mengatur iuran kader PKS yang menjabat jabatan publik dan tidak mempunyai jabatan publik. ”Mereka yang wajib menyerahkan iuran adalah anggota yang penghasilannya di atas Rp 1,5 juta,” kata Anis. Namun, yang terbanyak persentasenya dari donasi lepas para simpatisan.
        Sekjen Partai Amanat Nasional Taufik Kurniawan malah tidak dapat menyebutkan rata-rata besar iuran, sumbangan, dan APBN yang diterima dalam setahun. ”Saya tidak dapat menyebutkan. Tidak bisa dihitung karena kita bukan lembaga bisnis, LSM, atau yayasan. Itu (sumbangan) keikhlasan. Itu dipikul bersama-sama. Saya tidak dapat menyebut angka. Yang dapat dilihat, yang dilaporkan ke KPU,” kata Taufik.
Dalam sidang perkara pemberian cek perjalanan kepada anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, mantan anggota Komisi IX DPR, Max Moein, sebagai saksi, mengaku menerima cek di ruang komisi dari seseorang yang tidak bisa dipastikannya. Cek itu baginya adalah dana dari partai untuk mendukung kampanye pemilihan presiden di daerah pemilihannya, Kalimantan Barat. Uang itu habis untuk kampanye tanpa ada pertanggungjawaban (Kompas, 20/3). Kasus itu setidaknya dapat menunjukkan, dana yang diperoleh seorang kader partai bisa berasal dari sumber apa pun. Dana yang diperoleh atau masuk ke seorang kader partai bisa berasal dari donatur, dari hasil usaha atau bisnis, atau diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
          Apalagi, dalam UU No 2/2008 tidak ada pembatasan sumber dana perseorangan anggota parpol. UU No 2/2008 hanya mengatur pembatasan sumber dana perseorangan, bukan anggota parpol dan perusahaan atau badan usaha.
        Menurut Teten, tidak adanya pembatasan sumbangan dari pihak internal parpol itu merupakan kelemahan UU No 2/2008. Akibatnya, sumbangan-sumbangan yang masuk lewat kader atau simpatisan parpol, termasuk yang menduduki jabatan publik, sulit terkontrol.
          Selain itu, kader parpol yang memiliki dana besar dapat bersikap dominan dalam organisasi parpol, termasuk dalam kebijakan parpol. Terkait dengan sumbangan kader partai itu, Ketua DPP Partai Golkar Bambang Soesatyo mengakui, pimpinan partai menjadi penyumbang terbesar ke kas partai. ”Sekitar 40 persen biaya operasional partai dari ketua umum,” katanya.
        Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengatakan, partai belum bisa mendapatkan suatu keuangan dari perusahaan yang dimiliki partai itu sendiri. Oleh karena itu, yang dapat dilakukan adalah mencari sumber-sumber dana dari simpatisan, seperti pengusaha-pengusaha yang sejalan dengan partai.
        Persoalannya, ke depan, bagaimana integritas, arah kebijakan, dan program partai tetap dilandasi cita-cita partai. Dengan demikian, integritas, arah kebijakan, ataupun program partai tidak luntur dan tidak dikuasai kepentingan pemilik modal atau donatur berkantong tebal. Praktik politik uang dalam kampanye dan pemilu dapat dihindari.

 THANKS.... SEMOGA BERMANFAAT.

1 komentar:

Spirit Blog mengatakan...

postingan Saudara Sama dgn Postinga di blog ini https://pakarpangan.wordpress.com/artikel-2/manajemen-parpol/

Posting Komentar